Alkisah orang Tuhaha
bermula berasal dari Pedalam Pulau Seram yaitu Tupapa atau Tululauhaha (yang
artinya turun kelaut / ketepi pantai), yang mungkin disebabkan karena bencana alam atau peperangan, kemudian
sampailah mereka kepulau Saparua dan membentuk Hena-hena yang terdiri dari Soa-soa.
Pada saat itu semua negeri dipulau Saparua berada dipedalaman (pegunungan)
demikianpun dengan Negeri Tuhaha yang terdiri dari 9(sembilan) soa
masing-masing:
1.
Huhule dipimpin oleh Kapitan Latu Ulisiwa Kapitan
Aipassa, dibantu oleh :
v Kapitan
Pattipeiluhu atau Pattilapa
v Kapitan Pollatu
atau Somaha
- Ampatal dipimpin oleh Kapitan Supusepa, dibantu oleh:
v Kapitan Matakena
&
v Kapitan
Lopulissa
- Talehu dipimpin oleh Kapitan Sahusilawane
- Amapuano dipimpin oleh Kapitan Louhenapessy
- Matalete dipimpin oleh Kapitan Pollatu
- Apalili dipimpin oleh Kapitan Sahetapy
- Tahapau dipimpin oleh Kapitan Loupatty
- Sopake dinyatakan lenyap
- Amahutai dinyatakan lenyap
Untuk memperlancar roda pemerintahan maka Upu Latu
Ulisiwa Kapitan Aipassa yang berkedudukan di Huhule diangkat sebagai pemimpin
atas kesembilan Soa tersebut.
Pada Abad ke XVI kepulauan Nusantara didatangani oleh berbagai bangsa
asing, yang lambat laun terjadilah
penjajahan di Bumi Indonesia, termasuk juga kepulauan Maluku yang saat itu
terkenal dengan hasil rempah-rempah, seperti cengkeh, pala, dan lainnya,
Pada Tahun 1618,
Kolonial Belanda dibawah Komando Jenderal Arnold de Flaming
mengeluarkan perintah agar semua Negeri
yang berada dipegunungan segera turun dan berdiam di pesisir pantai.
Perintah itu diterima oleh Upu Latu Ulisiwa Kapitan
Aipassa, dan langsung ditanggapi dengan memanggil dan mengumpulkan para Kapitan
dan Pemuka-pemuka dari Ke-sembilan Soa, untuk meminta pendapat dari para Kepala
Soa sehubungan dengan Perintah Penjajah tersebut.
Sidang Saniri Negeri diadakan di Huhule khusus untuk
membahas “Apakah menerima Perintah
Penjajah itu atau melawannya”, yang tentunya berkonsekwensi terjadi
penyerangan oleh penjajah apabila tidak
mengindahkan perintah tersebut. Semua Kapitan dari ke-sembilan Soa
menerima untuk turun kecuali Upu Latu Kapitan Aipassa tidak bersedia dengan
alasan bahwa Upu Latu Kapitan Aipassa akan melawan saudaranya sendiri dari
Negeri Iha atau Ulupaha Amalatu.
Sidang diadakan kembali dan setelah mendenganr pendapat
dari pemuka-pemuka Negeri, dengan satu
cita-cita yaitu:
DEMI KELANJUTAN NEGERI
BEINUSA AMALATU
DAN MASA DEPAN ANAK CUCU
maka
sidang memutuskan untuk turun kepantai dipimpin oleh seorang pemimpin yang
bernama Sasabone dengan jabatan Raja Muda.
Sementara
semua Negeri bersiap-siap untuk turun, satu-satunya Negeri yaitu negeri Iha
atau Ulupaha Amalatu tidak bersedia dan tetap mengadakan perlawanan menentang
penjajah Belanda.
Pertempuran terus berlangsung dan akhirnya penjajah
Belanda meminta bantuan dari Tiga Negeri yaitu : Tuhaha, Paperu, dan Ullath, ,
untuk melawan Ulupaha Amalatu.
Pada tahun 1618 ketiga Negeri dengan pemimpinnya
masing-masing yaitu:
·
Tuhaha (Beinusa ) dipimpin
oleh Raja Muda Sasabone
·
Paperu (Tounusa) dipimpin
oleh Raja Thomas Lawalata
·
Ullath (Beilohi) dipimpin
oleh Raja Adrian Polbessy
bersama
seluruh rakyatnya menuju Hatawano dan menetap di Negeri Nolloth untuk membangun
basis pertahanan melawan Ulupaha Amalatu.
Sementara itu penjajah Belanda mengutus Raja Muda
Sasabone untuk menyampaikan perintah kepada Ulupaha Amalatu agar segera turun
kepesisir, tetapi perintah ini tidak disampaikan oleh Raja Muda Sasabone dan dengan sengaja Raja Muda Sasabone kembali
seraya menyampaikan kepada penjajajah bahwa “perintah untuk turun kepesisir tidak diindahkan oleh
Ulupaha Amalatu”
Sebaliknya Raja Muda Sasabone memberitahukan kepada
penjajah cara dan strategi untuk mengalahkan Ulupaha Amalatu, yaitu dengan
menggunakan tulang babi sebagai senjata untuk menghancurkan kejayaan Ulupaha
Amalatu.
Akibatnya Upu Latu Ana Iha tidak mampu bertahan dan
menyingkir bersama rakyatnya ke Iha Luhu di Seram Barat, dan karena
kekalahannya itu, sebelum pergi Ulupaha Amalatu mengucapkan kutuk kepada Raja
Muda Sasabone yang berbunyi :
“KUTUK ETALAKI
ANA BANGSA SASAPOE”
Atas perintah Jenderal Arnold de Flaming maka tanah milik
Ana Iha Upu Latu Ulupaha Amalatu dibagi kepada ketiga negeri yang telah
membantu Belanda dengan pembahagian sebagai berikut:
o
Tanah bagian Timur sampai kepesisir Jazirah Hatawano
kepada negeri Tounusa Amalatu dengan nama Posbril;
o
Tanah bagian Barat dari pedalaman sampai ke pesisir
pantai kepada negeri Beinusa Amalatu dengan nama Tanah Hatala;
o
Tanah bagian Ujung Tanjung Hatawano bahagian Utara kepada
negeri Beilohi Amalatu yang dijaga oleh satu Soa “TITAWAKA” (artinya Tinggal
Jaga) yang sekarang bernama ITAWAKA.
Bulan berganti bulan, Tahun berganti Tahun, maka
timbullah kerinduan dari semua masyarakat untuk menempati tanah mereka
masing-masing sebagaimana yang telah
ditetapkan.
Berkumpullah semua
pemuka masyarakat, pemuka Agama dan para bala rakyat mengadakan musyawarah dan
memutuskan untuk mengirim beberapa orang sebagai utusan untuk menyelidiki
tempat atau dusun mana yang bisa serta
layak menjadi tempat pemukiman kelak turun temurun.
Setelah berdoa bersama antara Badan Saniri dan Pemuka
Agama, maka berangkatlah para utusan
tersebut yang terdiri dari: 6 (enam) Kepala Soa dan seorang Guru Jemaat yaitu Lukas Wattimena yang bergelar Guru
keliling untuk melaksanakan tugasnya.
Tugas ini dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab, dan
selang beberapa hari kembalilah mereka dengan membawa berita bahwa, ada dua
Dusun yaitu:
v
Dusun Pasir Putih
dan
v Dusun Aimahono
Karena ada dua Dusun maka kembali mereka mengadakan
musyawarah dan akhirnya melalui Doa Pergumulan antara Badan Saniri Negeri dan
Pemuka Agama dan seorang Guru Agama (Lukas Wattimena) diputuskan untuk menarik
undi dalam rangka menentukan Dusun mana yang akan menjadi dasar Negeri Beinusa Amalatu.
Ketika undi ditarik ternyata Dusun Pasir Putih – lah yang terpilih, namun rupanya para Leluhur kita saat itu masih
mengandalkan pikiran mereka sendiri, dan dengan berbagai pertimbangan antara
lain bahwa :
1.
Dusun Pasir Putih
adalah Dusun yang sebahagian tanahnya merupakan tanah tandus dan tidak ada
“Batang Air” (Sungai); sedangkan
2.
Dusun Aimahono terdapat sebuah sungai kecil yang bernama
Ulu Ono dan sebuah anak sungai, sebuah sungai besar yaitu Wai Ila. Serta tidak
jauh dari Dusun Aimahono terdapat sebuah sumber air yaitu Waikapotol yang kini lazim disebut “Air Ternate”.
Berdasarkan pertimbangan itulah maka para leluhur kita
memutuskan untuk membatalkan hasil undian yang mereka lakukan melalalui Doa,
itu berarti bahwa mereka telah melanggar Doa Pergumulan mereka sendiri.
Menyadari akan hal tersebut maka kembali Badan Saniri
Negeri dan Pemuka Agama mengadakan Doa mohon ampun atas pelanggaran mereka,
sekaligus menetapkan DUSUN AIMAHONO yang akan menjadi dasar dari Negeri Beinusa
Amalatu untuk anak cucu turun temurun.
Setelah dusun Aimahono ditetapkan maka berangkatlah Badan
Saniri Negeri, Pemuka Agama, Kepala-kepala Keluarga dan Anak-anak yang telah
dewasa menuju Dusun Aimahono untuk mempersiapkan sebuah
Negeri yang layak dan damai.
Berhari-hari mereka bekerja secara bersama untuk membuat
walang atau rumah, jalan-jalan dan akhirnya terbentuklah sebuah negeri dengan
bentuk empat persegi, dikelilingi pepohonan yang hijau dan laut yang kaya akan
hasilnya.
Sesudah sampai waktunya, pada tahun 1718 bersiaplah
seluruh warga masyarakat Beinusa Amalatu, laki-laki/perempuan Tua / Muda serta
Anak-anak dengan dipimpin oleh Kepala-kepala Soa dan seorang Guru Jemaat serta
Pemuka-pemuka Agama, meninggalkan Negeri Nolloth. Dan tepat pada jam dubelas
tengah malam diiringi dentangan lonceng, bergeraklah iring-iringan itu menuju
Dusun Aimahono, untuk ditempati sebagai Negeri beinusa Amalatu.
Sekalipun mereka telah melanggar undi, namun Tuhan Allah
telah mendengar Doa pergumulan mohon ampun, sebab itu Tuhan Allah meyertai
mereka pada saat mereka meninggalkan negeri Nolloth menuju Tanah yang sudah
disiapkan yaitu “Bumi Beinusa Amalatu”, dengan satu ikrar bahwa setiap tahun
akan diadakan Doa Ucapan Syukur pada setiap
Minggu terakhir bulan Juni dan Desember atau 2(dua) kali dalam setahun
dan harus dilaksanakan secara turun temurun.
Setiap tahun pada hari
Minggu terakhir bulan Juni dan Desember, kedua Badan Saniri Negeri dan
Majelis Jemaat mendatangi setiap rumah tangga untuk memungut persembahan Syukur
di Hari Minggu pagi,
dan
pada petang hari semua Umat Negeri diwajibkan mengikuti Ibadah, yang sampai
saat ini dikenal dengan istilah :
“MANGKOK ENAM BULAN atau
GEREJA ENAM BULAN”
Demikianlah pengorbanan leluhur kita dimasa lampau demi
masa depan yang lebih baik untuk anak – cucunya, yaitu kita sekarang ini, dan
apakah yang harus kita lakukan di era Modernisasi dan Globalisasi untuk
menciptakan generasi yang mandiri ???
Tidak ada komentar:
Posting Komentar